1.3
Bagaimana web konten dengan model generative dan retorika
Model generatif
1. Pengertian Pembelajaran Generatif Pembelajaran
Generatif (PG) merupakan terjemahan dari Generative Learning (GL). Menurut
Osborno dan Wittrock dalam Katu (1995.b:1), pembelajaran generatif merupakan
suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif
pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki mahasiswa
sebelumnya. Pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara menggunakannya dalam
menjawab persoalan atau gejala yang terkait. Jika pengetahuan baru itu berhasil
menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan
dalam memori jangka panjang.
2. Landasan Teoritik dan Empirik Pembelajaran
GeneratifPembelajaran generatif memiliki landasan teoritik yang berakar pada
teori-teori belajar konstruktivis mengenai belajar dan pembelajaran.
Butir-butir penting dari pandangan belajar menurut teori konstruktivis ini
menurut Nur (2000:2-15) dan Katu (1995.a: 1-2), diantaranya adalah :
a. Menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
bisa terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah
melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami
inforamasi-informasi baru.
b. Seseorang belajar jika dia bekerja dalam
zona perkembangan terdekat, yaitu daerah perkembangan sedikit di atas tingkat
perkembangannya saat ini. Seseorang belajar konsep paling baik apabila konsep
itu berada dalam zona tersebut. Seseorang bekerja pada zona perkembangan
terdekatnya jika mereka terlibat dalam tugas yang tidak dapat mereka selesaikan
sendiri, tetapi dapat menyelesaikannya jika dibantu sedikit dari teman sebaya
atau orang dewasa.
c. Penekanan pada prinsip Scaffolding, yaitu
pemberian dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah.
Dukungan itu sifatnya lebih terstruktur pada tahap awal, dan kemudian secara
bertahap mengalihkan tanggung jawab belajar tersebut kepada mahasiswa untuk
bekerja atas arahan dari mereka sendiri. Jadi, mahasiswa sebaiknya lansung saja
diberikan tugas kompleks, sulit, dan realistik kemudian dibantu menyelesaikan
tugas kompleks tersebut dengan menerapkan scaffolding.
d. Lebih menekankan pada pengajaran top-down
daripada bottom-up. Top-down berarti mahasiswa langsung mulai dari
masalah-masalah kompleks, utuh, dan autentik untuk dipecahkan. Dalam proses
pemecahan masalah tersebut, mahasiswa mempelajari keterampilan-keterampilan
dasar yang diperlukan untuk memecahkan masalah kompleks tadi dengan bantuan
guru/dosen atau teman sebaya yang lebih mampu.
e. Menganut asumsi sentral bahwa belajar itu
ditemukan. Meskipun jika kita menyampaikan informasi kepada mahasiswa, tetapi
mereka harus melakukan operasi mental atau kerja otak atas informasi tersebut
untuk membuat informasi itu masuk ke dalam pemahaman mereka.
f. Menganut visi mahasiswa ideal, yaitu
seorang mahasiswa yang dapat memiliki kemampuan pengaturan diri sendiri dalam
belajar.
g. Menganggap bahwa jika seseorang memiliki
strategi belajar yang efektif dan motivasi, serta tekun menerapkan strategi itu
sampai suatu tugas terselesaikan demi kepuasan mereka sendiri, maka kemungkinan
sekali mereka adalah pelajar yang efektif dan memiliki motivasi abadi dalam
belajar.
h. Sejumlah penelitian (Slavin, 1997: )yang
menunjukkan pengaruh positif pendekatan-pendekatan konstruktivis yang melandasi
pembelajaran generatif terhadap variabel-variabel hasil belajar tradisional,
diantaranya adalah : dalam bidang matematika (Carpenter dan Fennema, 1992),
bidang sains (Neale, Smith, dan Johnson, 1992), membaca (Duffi dan Rochler,
1986), menulis (Bereiter dan Scardamalia, 1987). Penelitian Knapp (1995)
menemukan suatu hubungan positif pendekatan-pendekatan konstruktivis dengan
hasil belajar.
3. Tahapan Pembelajaran GeneratifLangkah-langkah
atau tahapan pembelajaran generatif menurut Katu (1995. b:5-6), terdiri atas 5
tahap dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tahap-1 : PengingatanPada tahap awal ini,
dosen menuliskan topik dan melibatkan mahasiswa dalam diskusi yang bertujuan
untuk menggali pemahaman mereka tentang topik yang akan dibahas. Mereka diajak
untuk mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari
yang berkaitan dengan topik tersebut. Mereka diminta mengomentari pendapat
teman sekelas dan membandingkannya dengan pendapat sendiri. Tujuan dari tahap
pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian mahasiswa terhadap pokok yang
sedang dibahas, membuat pemahaman mereka menjadi eksplisit, dan sadar akan
variasi pendapat di antara mereka sendiri. Untuk membuat suasana menjadi
kondusif, dosen diharapkan tidak akan menilai mana pendapat yang “salah” dan
mana yang “benar”. Yang perlu dilakukan adalah membuat mereka berani
mengemukakan pendapatnya tanpa takut disalahkan. Sebaiknya pertanyaan yang
diajukan dosen adalah pertanyaan terbuka.
b. Tahap-2 : Tantangan dan KonfrontasiSetelah
dosen mengetahui pandangan sebagian mahasiswanya, dosen mengajak mereka untuk
mengemukakan fenomena atau gejala-gejala yang diperkirakan muncul dari suatu
peristiwa yang akan didemonstrasikan kemudian. Mereka diminta mengemukakan
alasan untuk mendukung dugaan mereka. Mereka juga diajak untuk menanggapi
pendapat teman satu kelas mereka yang berbeda dari pendapat sendiri. Dosen
diharapkan untuk mencatat dan mengelompokkan dugaan dan penjelasan yang muncul
di papan tulis. Secara sadar dosen mempertentangkan pendapat-pendapat yang
berbeda itu. Setelah itu dosen melaksanakan demonstrasi dan meminta mahasiswa
untuk mengamati dengan seksama gejala yang muncul. Dosen perlu memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mencerna apa yang mereka amati, akan merasa terganggu
dan mengalami konflik kognitif dalam pikirannya. Setelah itu barulah dosen
menayakan apakah gejala yang mereka amati itu sesuai atau tidak dengan pikiran
mereka. Dengan menggunakan cara dialog yang timbal balik dan saling melengkapi,
diharapkan mereka dapat menemukan jawaban atas gejala yang mereka amati. Dalam
hal ini dosen menyiapkan perangkat demonstrasi, tampilan gambar, atau grafik
yang dapat membantu mahasiswa menemukan alternatif jawaban atas gejala yang
diamati.
c. Tahap-3 : Reorganisasi Kerangka Kerja
KonsepPada tahap ini dosen membantu mahasiswa dengan mengusulkan alternatif
tafsiran menurut fisikawan dan menunjukkan bahwa pandangan yang dia usulkan
dapat menjelaskan secara koheren gejala yang mereka amati. Mahasiswa diberikan
beberapa persoalan sejenis dan menyarankan mereka menjawabnya dengan pandangan
alternatif yang diusulkan dosen. Diharapkan mereka akan merasakan bahwa
pandangan baru dari dosen tersebut mudah dimengerti, masuk akal, dan berhasil
dalam menjawab berbagai persoalan. Diharapkan mahasiswa mulai mereorganisasi
kerangka berpikir mereka dengan melakukan perubahan struktur dan hubungan antar
konsep-konsep. Proses reorganisasi ini tentu membutuhkan waktu.
d. Tahap-4 : Aplikasi KonsepPada tahap ini,
dosen memberikan berbagai persoalan dengan konteks yang berbeda untuk
diselesaikan oleh mahasiswa dengan kerangka konsep yang telah mengalami
rekonstruksi. Maksudnya adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
menerapkan pengetahuan/keterampilan baru mereka pada situasi dan kondisi yang
baru. Keberhasilan mereka menerapkan pengetahuan dalam situasi baru akan
membuat para mahasiswa makin yakin akan keunggulan kerangka kerja konseptual
mereka yang sudah direorganisasi. Pelatihan ini dimaksudkan juga untuk lebih
menguatkan hubungan antar konsep di dalam kerangka berpikir yang baru mengalami
reprganisasi.
e. Tahap-5 : Menilai KembaliDalam suatu
diskusi, dosen mengajak mahasiswanya dalam menilai kembali kerangka kerja
konsep yang telah mereka dapatkan.
4. Beberapa Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran
GeneratifDalam melaksanakan pembeljaran generatif,menuru Sutrisno (1995:3),
dosen perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut : a.
Menyajikan demonstrasi untuk menantang intuisi mahasiswa. Setelah dosen mengetahui
intuisi yang dimiliki mahasiswa, dosen mempersiapkan demonstrasi yang
menghasilkan peristiwa yang dapat berbeda dari intuisi mahasiswa.
Model Retorika
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara
berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang,
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi ata memberi
motivasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh
karena itu pembicaraan itu setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan
itu muncul, ketika manusia mengungkapkan dan menyampaikan pikirannya kepada
manusia lain.
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik
(Kunst, gut zu reden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat
alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne), Dewasa ini retorika
diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses
komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara
lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan
untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang
tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang
tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran,
kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa
populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas
cara yang lebih efektif, mengucapka kata-kata yang tepat, benar dan
mengesankan. Itu berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan
efektif. Jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan
sebagai tanda kepintaran dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak
membawa efek? Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, “Orang yang
menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak
tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni
berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para retor yang terkenal
(imitatio), dengan mempelajari dan mempergunakan hukum-hukum retorika (doctrina)
dan dengan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dalam seni berbicara
dituntut juga penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa
(verba).
Retorika, Dialektika dan Elocutio
Ilmu retorika mempunyai hubungan yang erat dengan dialektika
yang sudah dikembangkan sejak zaman Yunani kuno. Dialektika adalah metode untuk
mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Melalui dialektika, orang dapat
mengenal dan menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan argurmentasi
(inventio) dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio). Retorika
mempunyai hubungan dengan dialektika karena debat dan diskusi juga merupakan
bagian dari ilmu retorika.
Elocutio berarti kelancaran berbicara. Dalam
retorika kelancaran berbicara sangat dituntut. Elocutio menjadi prasyarat
kepandaian berbicara. Oleh karena itu retorika juga berhubungan erat dengan
elocutio.
1.3
Bagaimana web konten dengan model generative dan retorika
Model generatif
1. Pengertian Pembelajaran Generatif Pembelajaran
Generatif (PG) merupakan terjemahan dari Generative Learning (GL). Menurut
Osborno dan Wittrock dalam Katu (1995.b:1), pembelajaran generatif merupakan
suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif
pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki mahasiswa
sebelumnya. Pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara menggunakannya dalam
menjawab persoalan atau gejala yang terkait. Jika pengetahuan baru itu berhasil
menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan
dalam memori jangka panjang.
2. Landasan Teoritik dan Empirik Pembelajaran
GeneratifPembelajaran generatif memiliki landasan teoritik yang berakar pada
teori-teori belajar konstruktivis mengenai belajar dan pembelajaran.
Butir-butir penting dari pandangan belajar menurut teori konstruktivis ini
menurut Nur (2000:2-15) dan Katu (1995.a: 1-2), diantaranya adalah :
a. Menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
bisa terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah
melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami
inforamasi-informasi baru.
b. Seseorang belajar jika dia bekerja dalam
zona perkembangan terdekat, yaitu daerah perkembangan sedikit di atas tingkat
perkembangannya saat ini. Seseorang belajar konsep paling baik apabila konsep
itu berada dalam zona tersebut. Seseorang bekerja pada zona perkembangan
terdekatnya jika mereka terlibat dalam tugas yang tidak dapat mereka selesaikan
sendiri, tetapi dapat menyelesaikannya jika dibantu sedikit dari teman sebaya
atau orang dewasa.
c. Penekanan pada prinsip Scaffolding, yaitu
pemberian dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah.
Dukungan itu sifatnya lebih terstruktur pada tahap awal, dan kemudian secara
bertahap mengalihkan tanggung jawab belajar tersebut kepada mahasiswa untuk
bekerja atas arahan dari mereka sendiri. Jadi, mahasiswa sebaiknya lansung saja
diberikan tugas kompleks, sulit, dan realistik kemudian dibantu menyelesaikan
tugas kompleks tersebut dengan menerapkan scaffolding.
d. Lebih menekankan pada pengajaran top-down
daripada bottom-up. Top-down berarti mahasiswa langsung mulai dari
masalah-masalah kompleks, utuh, dan autentik untuk dipecahkan. Dalam proses
pemecahan masalah tersebut, mahasiswa mempelajari keterampilan-keterampilan
dasar yang diperlukan untuk memecahkan masalah kompleks tadi dengan bantuan
guru/dosen atau teman sebaya yang lebih mampu.
e. Menganut asumsi sentral bahwa belajar itu
ditemukan. Meskipun jika kita menyampaikan informasi kepada mahasiswa, tetapi
mereka harus melakukan operasi mental atau kerja otak atas informasi tersebut
untuk membuat informasi itu masuk ke dalam pemahaman mereka.
f. Menganut visi mahasiswa ideal, yaitu
seorang mahasiswa yang dapat memiliki kemampuan pengaturan diri sendiri dalam
belajar.
g. Menganggap bahwa jika seseorang memiliki
strategi belajar yang efektif dan motivasi, serta tekun menerapkan strategi itu
sampai suatu tugas terselesaikan demi kepuasan mereka sendiri, maka kemungkinan
sekali mereka adalah pelajar yang efektif dan memiliki motivasi abadi dalam
belajar.
h. Sejumlah penelitian (Slavin, 1997: )yang
menunjukkan pengaruh positif pendekatan-pendekatan konstruktivis yang melandasi
pembelajaran generatif terhadap variabel-variabel hasil belajar tradisional,
diantaranya adalah : dalam bidang matematika (Carpenter dan Fennema, 1992),
bidang sains (Neale, Smith, dan Johnson, 1992), membaca (Duffi dan Rochler,
1986), menulis (Bereiter dan Scardamalia, 1987). Penelitian Knapp (1995)
menemukan suatu hubungan positif pendekatan-pendekatan konstruktivis dengan
hasil belajar.
3. Tahapan Pembelajaran GeneratifLangkah-langkah
atau tahapan pembelajaran generatif menurut Katu (1995. b:5-6), terdiri atas 5
tahap dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tahap-1 : PengingatanPada tahap awal ini,
dosen menuliskan topik dan melibatkan mahasiswa dalam diskusi yang bertujuan
untuk menggali pemahaman mereka tentang topik yang akan dibahas. Mereka diajak
untuk mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari
yang berkaitan dengan topik tersebut. Mereka diminta mengomentari pendapat
teman sekelas dan membandingkannya dengan pendapat sendiri. Tujuan dari tahap
pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian mahasiswa terhadap pokok yang
sedang dibahas, membuat pemahaman mereka menjadi eksplisit, dan sadar akan
variasi pendapat di antara mereka sendiri. Untuk membuat suasana menjadi
kondusif, dosen diharapkan tidak akan menilai mana pendapat yang “salah” dan
mana yang “benar”. Yang perlu dilakukan adalah membuat mereka berani
mengemukakan pendapatnya tanpa takut disalahkan. Sebaiknya pertanyaan yang
diajukan dosen adalah pertanyaan terbuka.
b. Tahap-2 : Tantangan dan KonfrontasiSetelah
dosen mengetahui pandangan sebagian mahasiswanya, dosen mengajak mereka untuk
mengemukakan fenomena atau gejala-gejala yang diperkirakan muncul dari suatu
peristiwa yang akan didemonstrasikan kemudian. Mereka diminta mengemukakan
alasan untuk mendukung dugaan mereka. Mereka juga diajak untuk menanggapi
pendapat teman satu kelas mereka yang berbeda dari pendapat sendiri. Dosen
diharapkan untuk mencatat dan mengelompokkan dugaan dan penjelasan yang muncul
di papan tulis. Secara sadar dosen mempertentangkan pendapat-pendapat yang
berbeda itu. Setelah itu dosen melaksanakan demonstrasi dan meminta mahasiswa
untuk mengamati dengan seksama gejala yang muncul. Dosen perlu memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mencerna apa yang mereka amati, akan merasa terganggu
dan mengalami konflik kognitif dalam pikirannya. Setelah itu barulah dosen
menayakan apakah gejala yang mereka amati itu sesuai atau tidak dengan pikiran
mereka. Dengan menggunakan cara dialog yang timbal balik dan saling melengkapi,
diharapkan mereka dapat menemukan jawaban atas gejala yang mereka amati. Dalam
hal ini dosen menyiapkan perangkat demonstrasi, tampilan gambar, atau grafik
yang dapat membantu mahasiswa menemukan alternatif jawaban atas gejala yang
diamati.
c. Tahap-3 : Reorganisasi Kerangka Kerja
KonsepPada tahap ini dosen membantu mahasiswa dengan mengusulkan alternatif
tafsiran menurut fisikawan dan menunjukkan bahwa pandangan yang dia usulkan
dapat menjelaskan secara koheren gejala yang mereka amati. Mahasiswa diberikan
beberapa persoalan sejenis dan menyarankan mereka menjawabnya dengan pandangan
alternatif yang diusulkan dosen. Diharapkan mereka akan merasakan bahwa
pandangan baru dari dosen tersebut mudah dimengerti, masuk akal, dan berhasil
dalam menjawab berbagai persoalan. Diharapkan mahasiswa mulai mereorganisasi
kerangka berpikir mereka dengan melakukan perubahan struktur dan hubungan antar
konsep-konsep. Proses reorganisasi ini tentu membutuhkan waktu.
d. Tahap-4 : Aplikasi KonsepPada tahap ini,
dosen memberikan berbagai persoalan dengan konteks yang berbeda untuk
diselesaikan oleh mahasiswa dengan kerangka konsep yang telah mengalami
rekonstruksi. Maksudnya adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
menerapkan pengetahuan/keterampilan baru mereka pada situasi dan kondisi yang
baru. Keberhasilan mereka menerapkan pengetahuan dalam situasi baru akan
membuat para mahasiswa makin yakin akan keunggulan kerangka kerja konseptual
mereka yang sudah direorganisasi. Pelatihan ini dimaksudkan juga untuk lebih
menguatkan hubungan antar konsep di dalam kerangka berpikir yang baru mengalami
reprganisasi.
e. Tahap-5 : Menilai KembaliDalam suatu
diskusi, dosen mengajak mahasiswanya dalam menilai kembali kerangka kerja
konsep yang telah mereka dapatkan.
4. Beberapa Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran
GeneratifDalam melaksanakan pembeljaran generatif,menuru Sutrisno (1995:3),
dosen perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut : a.
Menyajikan demonstrasi untuk menantang intuisi mahasiswa. Setelah dosen mengetahui
intuisi yang dimiliki mahasiswa, dosen mempersiapkan demonstrasi yang
menghasilkan peristiwa yang dapat berbeda dari intuisi mahasiswa.
Model Retorika
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara
berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang,
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi ata memberi
motivasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh
karena itu pembicaraan itu setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan
itu muncul, ketika manusia mengungkapkan dan menyampaikan pikirannya kepada
manusia lain.
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik
(Kunst, gut zu reden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat
alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne), Dewasa ini retorika
diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses
komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara
lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan
untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang
tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang
tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran,
kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa
populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas
cara yang lebih efektif, mengucapka kata-kata yang tepat, benar dan
mengesankan. Itu berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan
efektif. Jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan
sebagai tanda kepintaran dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak
membawa efek? Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, “Orang yang
menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak
tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni
berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para retor yang terkenal
(imitatio), dengan mempelajari dan mempergunakan hukum-hukum retorika (doctrina)
dan dengan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dalam seni berbicara
dituntut juga penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa
(verba).
Retorika, Dialektika dan Elocutio
Ilmu retorika mempunyai hubungan yang erat dengan dialektika
yang sudah dikembangkan sejak zaman Yunani kuno. Dialektika adalah metode untuk
mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Melalui dialektika, orang dapat
mengenal dan menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan argurmentasi
(inventio) dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio). Retorika
mempunyai hubungan dengan dialektika karena debat dan diskusi juga merupakan
bagian dari ilmu retorika.
Elocutio berarti kelancaran berbicara. Dalam
retorika kelancaran berbicara sangat dituntut. Elocutio menjadi prasyarat
kepandaian berbicara. Oleh karena itu retorika juga berhubungan erat dengan
elocutio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar